Pemilu Ditunda: Kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
Pemilu Ditunda: Kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst
Jumat, 17 Maret 2023
Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahu (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Berikut adalah isi putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor Registrasi perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. atas gugatan yang diajukan oleh Partai Prima.
Dan putusan tersebut tentu menjadi perbincangan yang menarik dalam masyarakat, khusunya para akademisi dan praktisi yang berkecimpung dalam dunia hukum, mengapa tidak, sebagaimana dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan secara tegas bahwa PEMILU harus dilakukan 5 tahun sekali. Selain dari bertentangan dengan UUD Putusan tersebut juga telah melanggar berbagai ketentuan dimana Pengadilan Negeri tidak memiliki Kewenangan Absolut dalam mengadili sengketa yang berkaitan dengan Keputusan Lembaga Negara yang mana dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai tergugat atas keputusan KPU yang dinilai merugikan Parta Prima karena tidak lolos hasil administrasi PEMILU 2024. Putusan tersbeut juga telah melanggar tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Apa dasar yang menyertakan putusan tersebut tidak sesuai dengan asas keadilan? Yang pertama dalam putusan yang mana memerintahkan KPU untuk melaksanakan Penundaan PEMILu dengan rentan waktu yang sangat jauh dengan waktu yang seharusnya yang akan menimbulkan kerugian terhadap banyak pihak seperti partai-partai yang seharusnya mendapatkan kesempatan untuk turut serta dalam PEMILU tahun 2024 akan menunggu cukup lama untuk . mengikuti kontestasi PEMILU atas dasar penundaan PEMILU tersebut. Yang kedua Putusan tersebut tidak sesuai dengan asas kepastian karena selain melanggar ketentuan dalam UUD sebagai Konstitusi tertinggi RI, putusan tersebut juga telah melanggar aturan terkait PEMILU sebagaimana dijelaskan dalam pasal 431 dan pasal 432 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang isisnya adalah dalam hal dimana Sebagian atau seluruh wilayah NKRI terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan Sebagian tahapan Penyelenggaraan PEMILU tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan atau pemilihan susulan. Dan meskipun adanay pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan hal tersebut adalah ketetapan dari Komisi Pemilihan Umum. Yang ketiga putusan tersebut tidak sesuai dengan asas kemanfatan. Mengapa demikian. Selain tidak adanya urgensi untuk penundaan pemilu. Justru putusan tersebut juga sangat menciderai konstitusi itu sendiri.
Terkait adanya upaya hukum yang dapat ditempuh oleh KPU dalam Banding yang akan diajukan ke Pengadilan Tinggi terkait Putusan yang memenangkan Partai Prima sebagai penggugat, bukanlah menjadi suatu yang harus disorot sebab, sejak awal gugatan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri sudah seharusnya Gugatan Tersebut tidak dapat diterima. Dan jika Pengadilan Negeri memiliki pandangan lain atas gugatan yang dilayangkan Partai Prima atas KPU, gugatan tersebut sudah seharusnya merupakan gugatan perkara biasa dan bukan merupakan Onrechtmatige Overheidsdaad atau perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah yang menghasilakan putusan yang memerintahkan KPU sebagai Lembaga Pemerintah untuk menunda PEMILU.
Berikut ini adalah berbagai pertimbangan lain untuk menerangkan bahwa Putusan tersebut adalah putusan yang keliru. Terlepas dari gugatan tersebut dapat diterima dan di Proses di Pengadilan Negeri. Gugatan Partai Prima adalah sengketa Pemuli, oleh karena itu menjadi hal yang sangat keliru ketika Pengadilan Negeri melaksanakan proses yang bukan merupakan Yurisdiksinya sebagaimana termaktub dalam pasal 470 UU Pemilu yang mana yang berwenang untuk mengadili dan Menerima Gugatan tersebut adalah PTUN sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) bahwa “sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terkait sengketa proses pemilu, merupakan sengketa yang timbul antara KPU dan Partai Politik Calon Pemilu yang tidak lolos Verifikasi sebagai akibat keputusan KPU. Maka secara tegas telah diatur dalam Undnag-Undang Pemilu akan bagaimana proses penyelesaian terkait sengketa Pemilu, maka tidak perlu ditafsirkan lagi. Baik itu dengan dalil bahwa putusan hakim harus dianggap benar (Res Judicata Pro Veritate Habetur). Dan bterkait apakah putusan tersebut merupakan putusan serta merta (uitvoer bij voorraad) sebagaimana dijelaskan dalam pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) RBG, pasal 332 (RV) dan pasal 2 ayat (4) UU No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman tidak menjadi kekhawatiran. Sebab dalam untuk membatasi putusan serta merta Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No 13 tahun 1964 yang pada pokoknya menyatakan bahwa putusan serta merta harus melalui Persetujuan Mahkamah Agung.
Kemudian yang menjadi konflik berikutnya adalah apakah ketika Lembaga pemerintah melaukan Perbuatan melawan hukum selamanya gugatan tersebut hanya dapat diajukan Ke PTUN maka ketika objek sengketa tersebut berupa Tindakan faktual dan penetapan tertulis PTUN memiliki kewenangan mengadili sengketa administrasi tersebut sedangkan jika objek sengketanya berupa Tindakan hukum lain yang tidak tertulis tidak dapat diklarifikasikan sebagai Tindakan Faktual (Tindakan Adminisatrasi Pemerintah) ataupun Penetapan tertulis (Keputusan Administrasi Pemerintahan) sehingga menjadi Kewenangan Peradilan Umum sebagai Peradilan Residual (resrechter). Yang mana meskipun Gugatan tersebut diajukan peradilan Umum maka gugatan tersebut harus melalui proses dismisal sebagai proses dalam meneliti apakah gugatan tersebut dapat diterima sebagai Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah atau tidak.
Namun dengan berbagai pertimbangan dan berbagai kemungkinan dalam setiap memori banding yang akan diajukan KPU atas Putusan Pengadilan Jakarta Pusat No 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang memenangkan Gugatan Partai Prima yang berakibat munculnya berbagai polemic dalam tatanan politik maupun streotipe masyarakat yang minus terhadap kualitas penegak hukum, polemic tersebut adalah suatu hal yang tidak selamanya buruk sebab masyarakat dapat menilai lebih jauh akan kualitas penegak hukum, yang cukup keliru untuk hal-hal yang seharusnya tidak menimbulkan polemik yang cukup besar, terlepas dari kemungkinan-kemungkinan atas banding yang diajukan oleh KPU atas putusan tersebut mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sudah seharusnya menjadi pembelajaran Dari para penegak hukum untuk lebih mempertimbangkan berbagai asas dan tujuan dari hukum itu dibuat baik itu keadilan, kepastian dan kemanfaatan dari hukum itu dibuat.