Sanksi Pidana dalam Pengibaran Bendera: Implikasi dan Rekonstruksi
Sanksi Pidana dalam Pengibaran Bendera: Implikasi dan Rekonstruksi
Dicky Eko Prasetio
Selasa, 24 September 2024
Pengibaran bendera merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh warga negara. Sebagai bentuk kebanggaan dan kecintaan terhadap negara, warga negara seringkali ikut berpartisipasi dalam melakukan pengibaran bendera (Sunardi, Dedik Tri Istiantara 2021). Di Indonesia sendiri, momentum pengibaran bendera pada umumnya dilakukan pada Bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan Indonesia serta berbagai kegiatan lainnya yang membawa nama negara maupun kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan negara.
Meski pengibaran Bendera Merah-Putih dengan gegap gempita diikuti oleh masyarakat, namun terdapat problematika tersendiri mengenai ketentuan pidana terkait pengibaran bendera. Pasal 66 dan 67 UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sejatinya telah mengatur mengenai syarat dan ketentuan dalam mengibarkan Bendera Merah Putih. Pasal 67 huruf b UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sejatinya melarang pengibaran bendera yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Prasetio 2022). Jika memahami ketentuan tersebut, maka hal tersebut berpotensi adanya kriminalisasi terhadap masyarakat yang memiliki kecintaan terhadap NKRI dan ingin berpartisipasi dalam pengibaran bendera namun tidak memiliki bendera yang layak sehingga terpaksa mengibarkan bendera yang tidak layak seperti rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam.
Hal inilah yang sejatinya perlu ada analisis serta solusi hukum dalam menyikapi hal tersebut. Hal ini supaya tidak terdapat overkriminalisasi terhadap masyarakat yang ingin mengibarkan bendera namun tidak memiliki bendera yang layak. Tulisan ini berfokus dan berupaya melakukan rekonstruksi hukum pengaturan sanksi pidana terkait pengibaran Bendera Merah-Putih.
Sanksi Pidana dalam Pengibaran Bendera
Mahkamah Konstitusi sebagai the final interpreter of the constitution melalui Putusan No. 4/PUU-X/2012 sejatinya telah memberikan konstruksi terkait dengan sanksi pidana terhadap lambang negara(Dicky Eko Prasetio 2022). Meski putusan ini secara spesifik berkaitan dengan lambang negara, namun hal ini tetap relevan dalam kaitannya dengan bendera negara. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua argumentasi, yaitu: pertama, berdasarkan asas “titulus est lex, duprica est lex”(Munandar, Muin, and Mirzana 2021) yang menegaskan bahwa judul suatu Undang-Undang sejatinya berkaitan dengan substansi Undang-Undang. UU No. 24 Tahun 2009 sejatinya menggunakan judul “Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan” sehingga dalam UU a quo secara substansi membahas bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan sekaligus. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka pengaturan atas salah satu aspek dalam UU No. 24 Tahun 2009 berpengaruh juga terhadap aspek yang lain. Dalam hal ini, pengaturan atas lambang negara dapat berpengaruh terhadap bendera negara. Kedua, berdasarkan postulat hukum yang menyatakan bahwa, “Citationes non concedantur priusquam exprimatur super qua re fieri debet citation” yang artinya penggunaan yurisprudensi tidak akan diterima sebelum dijelaskan hubungan antara perkara dengan yurisprudensi tersebut (Salim et al. 2020). Dalam postulat ini, maka upaya menghubungkan suatu yurisprudensi (dalam ini Putusan Mahkamah Konstitusi) maka perlu dijelaskan dengan isu hukum yang dibahas. Dalam konteks ini, maka hubungan Putusan Mahkamah Konstitusi dengan isu hukum ini yaitu bahwa karakter sanksi pidana dalam lambang negara memiliki karakteristik sama secara “mutatis-mutandis” dengan bendera negara.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 4/PUU-X/2012 sejatinya mempertegas bahwa lambang negara (termasuk juga bendera negara) sejatinya telah eksis sebelum Indonesia merdeka yang artinya pengekangan penggunaan bendera negara atau lambang negara adalah tidak tepat sepanjang masih terdapat orientasi untuk menjaga martabat bangsa dan negara dalam penggunaannya. Lebih lanjut, Putusan No. 4/PUU-X/2012 juga menegaskan pentingnya terpenuhinya asas-asas dalam formulasi hukum pidana yang meliputi: asas lex certa (aturan pidana harus jelas dan tegas), asas lex scripta (aturan pidana harus bersifat tertulis), asas lex stricta (aturan pidana harus bersifat ketat dan limitatif), serta asas lex praevia (aturan pidana tidak boleh berlaku surut) (Alhakim 2022). Jika mengacu pada ketentuan dalam Pasal 67 huruf b UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sejatinya melarang pengibaran bendera yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam.
Ketentuan delik dalam Pasal 67 huruf b UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sejatinya menegaskan bahwa, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang…….b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c”. Dalam Pasal 24 huruf c ditegaskan bahwa, “mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam”. Jika mengacu pada ketentuan dalam Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hanya dengan mengibarkan Bendera Merah Putih yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam dapat dikenakan pidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 67 huruf b UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam konsep hukum pidana, penulis berpendapat bahwa rumusan tersebut tidak tepat dan berpotensi overkriminalisasi setidaknya dengan didasarkan pada dua alasan, yaitu: pertama, dalam aspek asas lex stricta yang perlunya adanya aturan pidana yang tegas dan limitatif maka Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan belum secara tegas dan ketat dalam pengaturan pidana. Hal ini dapat dibandingkan dengan ketentuan Pasal 24 huruf a UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang mencantumkan aspek, “dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara” yang menurut penulis penting untuk menegaskan perlu terpenuhinya unsur maksud dan tujuan dari suatu tindak pidana. Hal ini penting karena tanpa rumusan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 24 huruf a UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, maka masyarakat atau pihak tertentu yang tidak memiliki maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara dan hanya memiliki bendera kusam untuk dikibarkan dapat dipidana. Padahal, semangat seperti ini harusnya diapresiasi atau minimal jangan dijadikan objek pemidanaan, tetapi justru diberi bendera yang bagus supaya dikibarkan. Dalam hal ini, penulis berkesimpulan bahwa rumusan Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan berpotensi melakukan overkriminalisasi terhadap masyarakat yang mengibarkan bendera sobek, lusuh, dan sejenisnya sekalipun tidak memiliki maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara.
Permasalahan selanjutnya dapat timbul misalnya dalam suatu institusi terdapat bendera lusuh atau sobek yang dikibarkan yang dalam pengibarannya dilakukan oleh security atau tenaga pengamanan. Yang menjadi pertanyaan, jika ketentuan pidana dalam Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diberlakukan, siapa yang harus bertanggungjawab, security atau tenaga pengamanan yang mengibarkan atau justru pimpinan institusi tersebut yang memerintahkan pengibaran bendera?. Tentu, problematika tersebut dapat semakin meruncing karena rumusan yang kurang tepat dalam Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Kedua, ketentuan dalam Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan menegaskan pentingnya unsur “dengan sengaja”. Dalam hukum pidana, kesengajaan atau lazim dikenal dengan sebutan dolus/opzet merupakan bagian dari kesalahan (Purwoleksono 2016). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibanding dengan kelalaian (culpa). Karenanya, ancaman pidana pada suatu kesengajaan jauh lebih berat, apabila dibandingkan dengan kelalaian. Dalam Memory Van Toelichting yang merupakan penjelasan resmi KUHP Belanda “kesengajaan” atau opzet diartikan sebagai “menghendaki” dan “mengetahui” (willen en wetens) (Sitepu and Syafruddin Kalo, Madiasa Ablisar 2015). Hal ini berarti orang yang sengaja adalah orang yang harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Dalam konteks Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan makna “dengan sengaja” harus dipahami bahwa pengibar Bendera Merah Putih yang lusuh, sobek, luntur, dan sebagainya harus menghendaki dan mengetahui tujuan serta akibat pengibaran bendera yang lusuh, sobek, luntur, dan sebagainya tersebut. Meski begitu, penulis berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan tetap bertendensi overkriminalisasi dan diperlukan adanya suatu rekonstruksi hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam aspek pengibaran bendera.
Rekonstruksi Hukum
Problematika hukum di atas menurut hemat penulit dapat dilakukan penyelesaian hukum dengan tiga opsi, pertama, yaitu dilakukan dengan interpretasi sistematis (Ginting 2017). Dalam aspek interpretasi sistematis terkait ketentuan dalam Pasal 24 huruf c maka menurut penulis memiliki keterkaitan dengan ketentuan Pasal 24 huruf a sehingga ketentuan dalam Pasal 24 huruf c “harus dibaca dalam satu rangkaian spirit” dengan Pasal 24 huruf a UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam hal ini, maka ketentuan dalam Pasal 24 huruf c dimaknai sebagai, “mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara”. Dengan membaca Pasal 24 huruf c secara interpretasi sistematis, maka masyarakat yang mengibarkan bendera rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam dengan tidak memiliki maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara maka sejatinya tidak dapat dipidana. Hal ini sejatinya relevan dengan semangat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa dalam penggunaan lambang dan bendera negara maka tujuan menjaga martabat negara harus dikedepankan dibandingkan dengan rumusan formal peraturan perundang-undangan serta pemberian sanksi pidana. Kedua, jika seandainya Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan masih dimaknai secara lateral sebagaimana adanya maka perlu adanya penegasan bahwa selama dalam pengibaran bendera yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam tidak terdapat maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara maka perlu dioptimalkan penerapan alasan pembenar.
Dalam hukum pidana, alasan pembenar atau “rechtvaardigingsronden” yaitu alasan yang menghapuskan sifat “wederrechtelijk” dari pada peristiwa yang memenuhi ketentuan pidana, sehingga tidak merupakan peristiwa tindak pidana (Sari 2022). Dengan demikian, alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang dibenarkan dan tidak dapat dijatuhi pidana. Alasan pembenar ini bersifat menghapuskan sifat melawan hukum dan perbuatan yang di dalam KUHP dinyatakan sebagai dilarang. Karena sifat melawan hukumnya dihapuskan, maka perbuatan yang semula melawan hukum itu menjadi dapat dibenarkan, dengan demikian pelakunya tidak dipidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP). Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, maka setiap masyarakat yang mengibarkan bendera yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam tidak terdapat maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara dapat tidak dikenai ketentuan pidana berdasarkan alasan pembenar, tentunya dengan beberapa batasan yang spesifik, yaitu: (i) tidak berupaya menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara, (ii) belum terdapatnya pembagian bendera secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu sebagai amanat Pasal 7 ayat (4) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, serta (iii) belum terdapatnya sosialisasi dari aparat atau pihak yang berwenang terkait pengibaran bendera secara baik dan benar. Berdasarkan uraian tersebut, maka menurut hemat penulis alasan pembenar dapat diberikan jika terdapat salah satu dari tiga alasan di atas.
Ketiga, upaya hukum dapat dilakukan dengan melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi yaitu terkait pertentangan antara Pasal 67 huruf b juncto Pasal 24 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang “tidak terdapat maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara”. Semoga saja, uraian gagasan penulis di atas dapat diimplementasikan sebagai upaya melindungi warga negara yang mengibarkan bendera dengan maksud cinta dan antusiasme dalam merayakan kemerdekaan Indonesia.
Pantau terus informasi menarik seputar hukum lewat benanghukum.com!