Problematika Hukum Pidana di Indonesia
Problematika Hukum Pidana di Indonesia
Selasa, 11 April 2023
Indonesia adalah negara hukum. Setidaknya begitulah bunyi pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sebagai hukum dasar dalam tatanan hierarki hukum di Indonesia, seharusnya segala regulasi yang berada di bawah UUD tersebut tidak bertentangan dengan aturan yang ada di dalamnya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk Ius Constitutum hukum Indonesia dan pada akhirnya terdapat aturan atau regulasi yang tentu berkembang sebagaimana berkembangnya peradapan. Selama tidak dilarang dalam UUD, regulasi tersebut dapat diterapakan sebagaimana adanya ius constitutum yang mendukung bahwa hukum itu pasti berkembang selama itu demi kemaslahatan orang banyak. Dalam arti lebih luas untuk kesejahtraan masyarakat Indonesia. Maka hukum tersebut harus dan wajib diratifikasi dan diterapkan.
Bukan hal baru tentunya bagi negara kita sebagaimana Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang hingga tulisan ini dibuat kitab-kitab tersebut masih berlaku di Indonesia. Meskipun hukum tersebut adalah hukum peninggalan pemerintah Hindia Belanda dan telah menjadi acuan dalam Hukum Pidana dan Perdata di Indonesia selama 104 tahun terhitung sejak 1918.
Selanjutnya, jika kita ulas kembali isi dalam pasal 3 ayat (1) UUD RI 1945 tersebut, Indonesia merupakan Negara Hukum. Namun, hukum negara Indonesia masih mengadopsi dari hukumnya negara lain. Hal ini tentu akan menjadi manifestasi tidak sempurna sebagaimana kuatnya penekanan dan sikap tegas dalam pasal tersebut.
Dalam penerapannya, Indonesia melalui lex specialist telah menunjukkan bentuk dan sikap kemandirian bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun, adanya beberapa aturan seperti Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Strafrecht tidak menjadikan negara Indonesia mandiri secara hakiki dalam penerapan hukumnya, sebab kedua regulasi tersebut bukanlah buah pemikiran murni dari anak bangsa. Maka dari itu, dalam sejarah perkembangan hukum, Indonesia telah melakukan beberapa revisi atas kitab tersebut yang mana Wetboek van Strafrecht telah direvisi dan telah diundangkan dengan disahkannya RKUHP pada 6 Desember 2022 lalu. Hal tersebut merupakan bentuk transformasi dari Wetboek van Strafrecht sebagai warisan hukum Belanda.
Tak cukup sampai di sini. Dinamika tersebut telah melahirkan berbagai pertanyaan, salah satunya pertanyaan apakah RKUHP yang telah disahkan tersebut lebih bermanfaat untuk masyarakat. Sebagaimana jika kita lihat, muncul beberapa penolakan dari kalangan masyarakat atas disahkannya RKUHP tersebut. Lalu, apakah masyarakat yang melakukan penolakan tersebut tidak setuju dengan kemandirian hukum di negaranya sendiri? Hal tersebut tentu menjadi jawaban yang hanya bisa dijawab oleh masing-masing pihak yang melakukan penolakan atas sahnya RKUHP tersebut.
Sekarang kita muncul pada kesimpulan bahwa kemandirian hukum Indonesia adalah cita-cita bagi semua masyarakat Indonesia karena isi dari pasal 3 ayat (1) UUD RI 1945 adalah sebagai bentuk manifestasi dari seluruh warga negara Indonesia. Namun, jika pada akhirnya Ius Constituendum yang dilahirkan oleh anak bangsa tersebut tidak lebih baik dari hukum yang berlaku kini, tentu kelak akan menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan hukum di Indonesia. Maka dari itu, diperlukan kajian dan pertimbangan yang lebih teliti dan mewakili seluruh lapisan rakyat. Sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Pada akhirnya, negara harus mengambil keputusan sebagai bentuk sikap yang utuh dari semua dinamika yang muncul dari masyarakat.