Mantan Narapidana Kasus Korupsi Nyaleg, Memang Boleh?
Mantan Narapidana Kasus Korupsi Nyaleg, Memang Boleh?
Dewa Ayu Ayuning Sekarsari A.
Rabu, 7 Februari 2024
Dapat dikatakan tahun 2024 merupakan tahun politik. Hal ini dikarenakan pada tahun ini, akan digelar pemilihan umum serentak yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota legislatif yaitu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota, serta pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia.
Pada pemilu tahun 2024, berdasarkan data lembaga Indonesian Corruption Watch (ICW) pada November 2023, sedikitnya terdapat 56 calon legislatif (caleg) baik untuk DPRD tingkat kota/kabupaten, provinsi, pusat, dan DPD RI yang berasal dari kalangan mantan narapidana kasus korupsi.
Apakah mantan narapidana korupsi diperbolehkan untuk menjadi caleg?
Hukum Indonesia yang berlaku saat ini tidak memiliki aturan larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk menjadi caleg. Hal tersebut ditandai dengan adanya Putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018 yang menyatakan ketentuan Pasal 60 ayat (1) huruf j PKPU Nomor 14 Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum, serta Putusan MA Nomor 46 P/HUM/2018 yang menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan UU Pemilu juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
Namun hal tersebut tidak semata-mata diperbolehkan secara keseluruhan. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar mantan terpidana kasus korupsi dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif berdasarkan ketentuan terbaru.
Hal ini didasari pada Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 yang menyatakan bahwa norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai apabila dirumuskan sebagai berikut:
(1) Bakal calon DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: ….
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Bagi calon anggota DPD, persyaratan tersebut didasari pada Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai apabila dirumuskan sebagai berikut:
Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: ….
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana politik dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Selanjutnya, tindak pidana korupsi sering kali berkaitan dengan konsekuensi pidana tambahan seperti pencabutan hak politik kepada terpidana korupsi yang bersifat fakultatif. Pencabutan hak berdasarkan Pasal 38 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu / pidana kurungan, paling sedikit dua tahun dan maksimal lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya. Sama halnya dengan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yang membatasi pencabutan hak politik terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani hukuman. Dasar hukum pencabutan hak politik sebagai tindak pidana tambahan sendiri diatur dalam ketentuan Pasal 10, Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 38 KUHP, Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 86 huruf c UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru).
Kaitannya dengan hal tersebut adalah terdapat peraturan lainnya yang mengatur mengenai persyaratan calon anggota legislatif yaitu Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU No. 10 Tahun 2023) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (PKPU No. 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 10 Tahun 2022).
Terbitnya kedua peraturan tersebut dimana dalam salah satu pasalnya yaitu Pasal 11 ayat (6) PKPU No. 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 10 Tahun 2022 menyatakan bahwa persyaratan mantan terpidana untuk telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani hukuman pidana penjara dikecualikan apabila ditentukan lain oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk pidana tambahan pencabutan hak politik.
Indonesia Corruption Watch (ICW), dkk dalam hal ini mengajukan proses peninjauan kembali berupa permohonan keberatan hak uji materiil kepada lembaga peradilan Mahkamah Agung terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dikarenakan bertentangan dengan Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 juncto Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang selanjutnya diputus dalam Putusan MA Nomor 28 P/HUM/2023 yang menyatakan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari para pemohon untuk seluruhnya sehingga Pasal 11 ayat (6) PKPU No. 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU No. 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 10 Tahun 2022 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak berlaku umum.
Sehingga, dapat disimpulkan 3 syarat apabila mantan terpidana termasuk dalam hal ini tindak pidana korupsi ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, yaitu:
1. Tidak pernah menjadi terpidana untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali tindak pidana kealpaan dan suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana politik dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
2. bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan
3. bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Dalam hal ini, bila dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik lalu mantan narapidana korupsi tersebut masih dicabut hak politiknya, maka tidak diperkenankan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif serta selanjutnya, jabatan yang boleh diduduki hanya jabatan yang dipilih oleh rakyat (political elected).
Referensi:
ICW. (2023). Menyoal Penyelundupan Pasal oleh KPU tentang Syarat Pencalonan Mantan Napi Korupsi sebagai Anggota DPR, DPRD, dan DPD RI. diakses dari https://antikorupsi.org/id/menyoal-penyelundupan-pasal-oleh-kpu-tentang-syarat-pencalonan-mantan-napi-korupsi-sebagai-anggota
ICW. (2023). Temuan ICW dalam Daftar Calon Tetap Calon Anggota Legislatif: 56 Mantan Terpidana Korupsi Mencalonkan Diri pada Pemilu 2024 Mendatang. diakses dari https://www.antikorupsi.org/id/temuan-icw-dalam-daftar-calon-tetap-calon-anggota-legislatif-56-mantan-terpidana-korupsi
Pantau terus informasi menarik seputar hukum lewat benanghukum.com!