Ketahui Dasar Hubungan Kerja Antara Pekerja Dengan Perusahaan Berdasarkan Ketentuan Hukum Yang Berlaku
Ketahui Dasar Hubungan Kerja Antara Pekerja Dengan Perusahaan Berdasarkan Ketentuan Hukum Yang Berlaku
Elfira Salma Salsabila
Selasa, 23 Juli 2024
Sebelum terjun pada dunia kerja, wajib bagi setiap orang untuk mengetahui dasar dari hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan. Hal ini perlu diketahui agar dapat menghindari miss-understanding atau kesalahpahaman antara pekerja dengan perusahaan yang nantinya dapat berakibat fatal hingga pada perselisihan hubungan industrial.
Pekerjaan merupakan sumber mata pencaharian bagi setiap orang. Ketika seseorang bekerja pada suatu perusahaan, maka disitu terdapat sebuah hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan. Hubungan kerja seringkali juga disebut sebagai hubungan industrial. Namun, secara pengertian menurut Pasal 1 Ayat 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan definisi dari hubungan kerja ialah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Lalu, pada Pasal 16, menyebutkan definisi dari hubungan industrial ialah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Hubungan kerja lahir disaat terjalinnya sebuah perjanjian kerja, baik tertulis maupun lisan. Berdasarkan Pasal 51 UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis ataupun lisan. Apabila perjanjian kerja dibuat secara tertulis, maka perjanjian harus dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar perjanjian kerja sendiri diatur dalam Pasal 52 UUK yang mengadaptasi unsur syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun Pasal 52 UUK, menyebutkan:
"(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
kesepakatan kedua belah pihak;
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.”
Berdasarkan pada Ayat (2), yang merujuk pada Ayat (1) huruf a, bahwa perjanjian kerja harus dilakukan dengan kesepakatan oleh kedua belah pihak, yakni pekerja dengan perusahaan. Apabila perjanjian dibuat tanpa kesepakatan pihak lain, perjanjian tidak batal demi hukum, namun pihak yang tidak sepakat dapat membatalkan perjanjian tersebut.
Selanjutnya, pada Ayat (1) huruf b, bahwa pembuatan perjanjian kerja haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang cakap hukum. Sebagaimana pada Pasal 330 KUH Perdata, cakap hukum berarti merujuk pada usia dewasa, yakni berusia di atas 21 tahun. Namun, pada konteks ketenagakerjaan yang berpatok pada dasar hukum UUK, disebutkan pada Pasal 1 Ayat (26) bahwa usia anak ialah di bawah 18 tahun. Maka dari itu, untuk pekerja usia di bawah 18 tahun yang melakukan perjanjian kerja wajib diwakilkan oleh walinya. Namun, apabila terdapat suatu sebab yang dapat merugikan pihak yang tidak cakap hukum, maka dapat dilakukan pembatalan perjanjian oleh wali.
Pada Ayat (3), perjanjian kerja yang dibuat dilarang menyalahi atau bertentangan dengan aturan perundang-undangan berlaku. Apabila terjadi, maka perjanjian kerja dinyatakan batal demi hukum, yang artinya putus hubungan kerja. Yang dimaksud pada Ayat (1) huruf c, bahwa suatu perjanjian kerja harus didasarkan adanya hubungan kerja. Apabila tidak terjadi sebuah hubungan kerja, maka dinyatakan batal demi hukum. Hal ini merujuk pada hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan, sebagaimana unsur hubungan kerja terdapat 4 (empat), diantaranya:
Adanya unsur pekerjaan
Adanya unsur upah
Adanya unsur perintah
Adanya unsur jangka waktu
Adapun perjanjian kerja secara tertulis harus memuat mengenai hubungan kerja yang jelas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 UUK:
“(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat :
nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
jabatan atau jenis pekerjaan;
tempat pekerjaan;
besarnya upah dan cara pembayarannya;
syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.”
Demikian, dasar hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan yang berdasarkan pada ketentutan hukum yang berlaku saat ini. Sewaktu-waktu peraturan hukum dapat berubah menyesuaikan dengan perkembangan generasi serta teknologi di Indonesia. Maka dari itu, wajib bagi kita semua untuk selalu mengikuti kebaruan atas kebijakan-kebijakan yang disahkan oleh pemerintah yang mengatur seputar ketenagakerjaan di Indonesia.
Pantau terus informasi menarik seputar hukum lewat benanghukum.com!