Kebijakan Presidential Treshold Ditinjau Dari Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian
Kebijakan Presidential Treshold Ditinjau Dari Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian
Senin, 4 September 2023
Latar Belakang
Era pasca reformasi merupakan tonggak sejarah demokrasi negara Indonesia yang sangat bersejarah. Era ini terjadi setelah masa reformasi yang menyudahi era orde baru, setelah orde baru berkuasa berpuluh tahun lamanya. Tentunya era pasca reformasi akan membawa demokrasi indonesia lebih baik daripada sebelumnya. Perubahan demokrasi menuju arah yang lebih baik ditandai dengan adanya pemilihan umum atau yang biasa disebut sebagai pemilu presiden yang lebih melibatkan rakyat dalam proses pemilihannya, yang mana hal tersebut tidak terjadi pada era reformasi dan era orde baru.
Indonesia sebagai negara demokrasi tentunya sangat memandang serius adanya konsep demokrasi itu sendiri, terbukti dengan adanya ketentuan mengenai demokrasi dalam konstitusi, yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945. Dalam konstitusi, sebagaimana tertulis dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dituliskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar”. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat merupakan unsur paling utama dalam demokrasi, sehingga harus dilibatkan langsung dalam setiap kehidupan demokrasi di Indonesia.
Demokrasi sangat mendukung adanya kesetaraan dalam hak untuk memiliki kesempatan yang sama dalam meraih kekuasaan, yaitu dengan adanya kegiatan pemilu. Pemilu pada dasarnya merupakan ajang untuk menjalankan demokrasi, dimana rakyat dapat menyuarkan suaranya untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan keinginnannya sendiri. Oleh karena itu, sangat tepat jika mengatakan demokrasi pada era pasca reformasi adalah era yang lebih baik dibanding sebelumnya jika melihat dengan model pemilu yang kini dilaksanakan dengan pemberian partisipasi pada rakyat untuk memilihnya secara langsung.
Tentunya pemilu yang menjadi ajang penentuan dalam menentukan pemimpin negara harus dilaksanakan sesuai dengan konstitusi yang ada. Pasal 6A ayat (2) menyebutkan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Hal tersebut tentunya menunjukkan bahwa pemilu dilaksanakan dengan memilih presiden yang diusung oleh partai politik sebagai syaratnya, yang tentunya tidak diperbolehkan untuk melanggar prinsip pada Pasal 22E UUD 1945 yang menuiskan bahwa, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Prinsip-prinsip yang sudah dituliskan dalam konstitusi tentunya harus dijunjung tinggi pada saat pemilihan umum dilaksanakan demi terlaksananya demokrasi dengan baik.
Setiap orang yang dalam hal ini warga negara Indonesia memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Hal ini ditegaskan dalam konstitusi dengan mencermati ketentuan pada Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai penggunaan kesempatan rakyat dalam setiap kegiatan pemilihan umum. Jika diartikan secara luas, ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai hak konstitusionalitas mengenai memilih atau dipilh. Hak tersebut tentunya dijamini oleh konstitusi, undang-undang, dan juga ditegaskan dalam konvensi internasional, sehingga tidak ada yang boleh melanggar hak tersebut. Tindakan menghambat, menghalangi, ataupun melanggar hak orang yang telah memenuhi ketentuan yang dijamin oleh konstitusi itu sama dengan melanggar konstitusi.[1]
Hak untuk memilih dan dipilih merupakan hak konstitusi dari setiap rakyat yang merupakan warga negara Republik Indonesia. Hak tersebut telah dikuatkan oleh putusan MK 011-17/PUU-I/2003 yang menunjukkan eksistensi mengenai hak tersebut yang sangat mudah untuk dilanggar. Hak untuk memilih memiliki peran yang penting dalam demokrasi, yaitu sebagai cara untuk menentukan pemimpin negara yang dalam hal ini presiden pada saat pemilihan umum dilaksanakan. Tentunya hak dalam memilih memiliki ketentuan-ketentuan yang tidak diskriminatif dan rasional, yang salah satu contohnya adalah cukup umur. Sedangkan hak untuk dipilih merupakan hak yang berkaitan pada kepesertaan setiap orang yang memenuhi kriteria untuk dapat dipilih menjadi presiden dalam pemilihan umum. Hak untuk dipilih memastikan bahwa setiap rakyat yang dalam hal ini adalah warga negara Indonesia memiliki hak untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pemiihan umum sebagai perwujudan dari demokrasi negara.
Pemilihan umum sebagai ajang kontestasi tentunya dapat diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun pada dasarnya, konstitusi memberikan persyaratan mengenai ketentuan dalam pencalonan presiden yang diatur dalam pasal 6A ayat (2) yang berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Hal tersebut tentunya tanpa tujuan, karena dengan adanya pengusungan calon presiden oleh partai politik, maka bila nantinya calon presiden terpilih menjadi presiden, maka ia akan memiliki kekuatan presidensial yang kuat dan memiiki posisi yang cukup baik dapat diterima. Hal tersebut menyebabkan setiap orang yang ini mencalonkan diri sebagai presiden, maka diharuskan untuk diusung partai terlebih dahulu.
Namun pada kenyataanya, implementasi untuk memberikan kebebasan pada rakyat untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon presiden tidak dilaksanakan dengan baik. Adanya presidential treshold yang dalam pembahasannya terdiri dari 2 hal, yaitu mengenai ambang batas pencalonan dan ambang batas keterpilihan. Keduanya telah diatur dalam konstitusi, yaitu UUD 1945 yang mana pada pasal 6A ayat (2) membahas mengenai ambang batas pencalonan yang seharusnya berbatas pada pensyaratan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden harus diusung oleh partai. Seharusnya, jika mengacu pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945, maka asalkan calon presiden dan wakil presiden diusung dari suatu partai atau koalisi partai, maka sudah dianggap memenuhi ambang batas pencalonan
Adanya pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat menjadi awal adanya presidential treshold, yaitu ketika Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum diundangkan untuk keperluan pemilihan umum. Dalam undang-undang tersebut, pada pasal 5 ayat (4) disebutkan bahwa ”Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.” Ketentuan mengenai presidential treshold kemudian berubah sejalan dengn adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur mengenai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada pasal 9, yaitu “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Adanya pro dan kontra memang akan selalu ada, begitupun dengan presidential treshold tentang pengaturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Mereka yang setuju dengan aturan ambang batas pencalonan karena untuk mengukur kekuatan presiden pada saat di parlemen. Mereka juga berpendapat bahwa adanya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden akan menguatkan sistem presidensial yang kuat.[2] Namun, bagi yang tidak setuju dengan adanya ambang batas pencalona presiden dan wakil presiden berpendapat bahwa hal tersebut menghilangkan kesempatan bagi para kandidat untuk dapat berkompetisi akibat partai pengusung yang memiliki suara dibawah ambang batas. Hal tersebut menjadikan hilangnya hak rakyat untuk memilih pemimpin yang diinginkannya, serta hilangnya hak dari rakyat yang ingin mencalonkan diri untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan permasalahan diatas, tentunya akan timbul banyak pertanyaan mengenai permasalahan presidential treshold, terutama mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Apakah memang presidential treshold sudah sesuai dan memang harus diterapkan pada sistem pemilihan umum, atau seharusnya tidak. Dalam hal ini, penulis mencoba menyandingkan presidential treshold dengan teori tujuan hukum yang dicetuskan oleh Gustav Radbruch, yaitu kemanfaatan, kepastian, dan keadilan untuk melihat bagaimana seharusnya penempatan kebijakan ini seharusnya dengan menggunakan asas prioritas dalam memilihnya.
Pembahasan
Sejarah Presidential Treshold
Pemilihan umum (atau yang disebut sebagai pemilu) Presiden dan Wakil Presiden Indonesia memang memiliki sejarah yang panjang. Tentunya pemilu sebagai tonggak demokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam kelangsungan demokrasi dalam suatu negara, karena dengan adanya demokrasi, maka rakyat dapat berpartisipasi langsung dalam menentukan siapa yang dapat memimpin mereka dalam periode kepemimpinan presiden kedapan, yaitu selama 5 tahun. Namun, tentunya rakyat tidak bisa memilih ataupun mencalonkan diri dengan bebas. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan presidential treshold yang berupa ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak semua orang dapat mendapatkan hak memilih dan dipilih sebagai hak konstitusionalitas dengan leluasa. Adanya kebijakan presidential treshold tentunya sudah terjadi semenjak tahun 2004, dimana rakyat dapat memilih secara langsung presidennya tanpa harus diwakili oleh parlemen.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah undang-undang yang pertama kali mencetuskan presidential treshold dapat dilihat bahwa presentase presidential treshold meningkat pada tahun 2009 dan presentasenya hingga kini tetap pada 20% untuk suara DPR dan 25% untuk suara sah nasional.
Presidential Treshold Dalam Teori Tujuan Hukum
Teori tujuan hukum adalah teori yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Dalam teori tujuan hukum, disebutkan bahwa ada 3 tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.[3] Dalam pembuatanya, suatu kebijakan pasti memiliki tujuan yang akan dicapai, begitupun dengan kebijakan presidential treshold yang tentunya memiliki tujuan dalam pembentukannya. Dalam teori Gustav, keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum tidak akan selalu sejalan, dan akan cenderung saling bertentangan. Pada ketiga aspek teori tujuan hukum ini tentunya akan menimbulkan kerenggangan pada tiap aspek, sehingga munculah ajaran prioritas baku dari gustav untuk memberikan patokan dengan mendahulukan keadilan, kemudian baru kepastian dan kemanfaatan hukum.
A. Keadilan dalam presidential treshold
Pada ketentuan yang termuat dalam konstitusi, yaitu pada pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang membahas mengenai keadilan sosial, dapat dilihat bahwa konstitusi sangat menjunjung keadilan. Begitupun dalam proses pemilu sebagai tonggak dari demokrasi negara yang harusnya memperhatikan prinsip keadilan dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Undang-undang sebagai regulasi dalam pemilu tentunya harus mengusung nilai-nilai keadilan yang memberikan kesempatan yang sama bagi berbagai pihak, baik itu untuk memilih maupun dipilih. Dalam hal ini, kebijakan negara tidak boleh bertentangan dengan konstitusi ataupun menyusun kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lain.[4]
Kebijakan mengenai presidential treshold yang berasal dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum merupakan regulasi dalam pelaksanaan pemilu. Regulasi tersebut membatasi rakyat untuk mecalonkan diri menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden dengan memberikan ambang batas pencalonan. Hal tersebut tentunya menyebabkan sedikitnya kontestan calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu karena sulitnya memenuhi ambang batas tersebut. Tentunya kebijakan ini sangat berpihak pada partai-partai besar dan sangat diskriminatif pada partai kecil, sehingga dengan terpaksa, banyak calon Presiden dan Wakil Presiden gagal dalam mencalonkan dirinya akibat partai pengusung yang memiliki sedikit sekali suara, sehingga tidak memenuhi ketentuan batas minimal.
Adanya demokrasi seharusnya memberikan kesetaraan hak politik dalam kegiatan pemilu yang ada. Konstitusi sendiri melalui pasal 6A ayat (2) hanya menyatakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Menurut pasal tersebut, syarat untuk mencalonkan diri hanya dengan diusulkan oleh partai politik, dan tidak terdapat ketentuan penghambat lain yang menunjukkan bahwa seharusnya dalam pembentukan regulasi pemilu, cukup melakukan penambahan mengenai teknis-teknis tanpa adanya penambahan ketentuan yang sangat condong pada pihak tertentu dan tidak memenuhi prinsip ketidakadilan.
Ketidakadilan ini terjadi karena presidential treshold hanya menguntungkan partai politik pemenang pemilu sebelumnya, yaitu pemilu tahun 2019. Kebijakan ini juga bersifat diskriminatif pada partai-partai yang baru dibentuk ataupun partai yang baru memiliki sedikit sekali suara.[5] Padahal seharusnya, pemilu yang menjadi tonggak demokrasi negara harus mengedepankan keadilan bagi semua pihak. Sudah seharusnya semua pihak memberikan kesempatan yang sama dalam pemilu, yaitu dengan memiliki peluang yang sama untuk memenangkan gagasan-gagasan yang diajukannya melalui kontestasi pemilu yang adil.
B. Kepastian dalam presidential treshold
Kepastian hukum merupakan jaminan bahwa peraturan yang dibuat memiliki dasar yang pasti. Adanya presidential treshold yang diatur dalam undang-undang pemilu, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menjadi regulasi dalam kontestasi pemilu. Dengan diundangkannya regulasi mengenai pemilu membawa harapan akan adanya kepastian hukum pada saat pelaksanaan pemilu.
Setiap undang-undang yang dibentuk tentunya harus sesuai dengan konstitusi yang ada yang dalam ini adalah UUD 1945. UUD 1945 sebagai induk dari semua Undang-undang tentunya harus menjadi pedoman dalam pembentukan Undang-undang yang ada dibawahnya. Hal ini penting untuk dilakukan karena tiap Undang-undang harus sesuai dengan konstitusi negara agar sesuai dengan tujuan dari dasar negara. Oleh karena itu, perlu adanya kepastian agar undang-undang yang ada tidak menyalahi UUD sehingga tidak dianggap sebagai inkonstitusional.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang mengatur mengenai presidential treshold pada dasarnya merujuk ketentuan Pasal 6A ayat (2) menyebutkan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Namun, ketika dilihat, pada pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum mengatur melampaui apa yang diamanatkan dalam konstitusi. Konstitusi hanya menyaratkan adanya partai politik yang mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden, namun dalam hal ini, ketentuan presidential treshold tidak sesuai dengan konstitusi, yang mana seharusnya hanya perlu mengatur mengenai teknis pada kegiatan pemilu, dan tidak sampai menambah ketentuan yang tidak perlu yang malah melanggar hak-hak konstitusional bagi para pihak.
Inkonstitusionalitas pada presidential treshold terjadi karena pembatasan yang terjadi, sehingga menghilangkan hak partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut dikarenakan penafsiran pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengisyaratkan bahwa semua partai poitik dapat berpartisipasi dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden. Adanya presidential treshold tentunya bertentangan dengan konstitusi, berapapun presentasenya tidak akan mengubah statusnya, karena selama pemilu tetap menggunakan presidential treshold, maka selama itu juga ada upaya intervensi untuk membatasi hak partai politik.[6]
Ketentuan konstitusi pada Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai penggunaan kesempatan rakyat dalam setiap kegiatan pemilihan umum. Jika diartikan secara luas, ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai hak konstitusionalitas mengenai memilih atau dipilh. Adanya presidential treshold membatasi rakyat untuk memilihi calon Presiden dan Wakil Presiden Pilihan karena gagal pada persyaratan ambang batas pencalonan pada presidential treshold. Sedangkan banyak rakyat yang ingin mencalonkan dirinya untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden terhambat karena hanya diusung oleh partai kecil yang tidak memenuhi ketentuan dalam ambang batas pencalonan. Asanya pembatasan hak-hak konstitusi tersebut menunjukan bahwa presidential treshold inkonstitusional karena tidak sesuai dengan konstitusi.
C. Kemanfaatan dalam presidential treshold
Pemilu sebagai tonggak demokrasi negara tentunya sangat penting karena memiliki muatan partisipasi rakyat dalam menentukan arah dari suatu negara dengan cara memilih pemimpin. Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin sesuai dengan regulasi yang ada, yang tentunya harus sesuai dengan konstitusi. Adanya pembatasan yang menghambat proses demokrasi tentunya tidak dapat dibenarkan, apalagi dilakukan oleh suatu negara dengan kebijakan berupa presidential treshold yang membatasi hak untuk memilih dan hak untuk dipilih rakyat.
Adanya kebijakan presidential treshold tentunya mengurangi kualitas demokrasi. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan mengenai calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang hendak mengikuti pemilu karena partai yang mengusung masih belum memiliki suara yang besar, sesuai dengan kriteria ambang batas pencalonan dalam presidential treshold. Hal tersebut membuat semakin sedikitnya calon-calon yang akan mengikuti kontestasi pemilu. Sedikitnya calon-calon yang mengikuti pemilu menyebabkan sedikit sekali pilihan rakyat dalam pemilu, yang seharusnya jika terdapat banyak calon-calon dalam pemilu, mereka bisa beradu gagasan untuk dapat menjadikan rakyat yakin pada pilihannya.
Adanya presidential treshold yang diklaim dapat menguatkan sistem presidesial nyatanya tidak sepenuhnya benar. Menurut Mahkamah Konstitusi, pelaksanaan pemilihan umum dengan presidential treshold tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Pasangan calon presiden dan wakil presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Adanya koalisi ini cenderung hanya berorientasi pada pembagian kekuasaan dari para partai yang berkoalisi ketika memenangkan pemilu tanpa adanya ketentuan mengenai kewajiban koalisi untuk emndukung presiden.[7]
Tanpa adanya presidential treshold, tentunya akan akan ada keterkaitan mengenai partai politik dengan calon Presiden dan Wakil presiden, sehingga menciptakan kecenderungan pendukung partai untuk memilih presiden dan wakil presiden dari partai yang didukung. Partai politik peserta pemilu lebih menawarkan ideologi partai dan mempersiapkan sedini mungkin pasangan calon presiden dan wakil presiden yang disukai oleh rakyat. Kecenderungan rakyat yang memilih calon pasangan presiden dan wakil presiden dan partai yang sama akan menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat. Partai politik dari calon presiden dan wakil presiden terpilih akan menjadi partai pemenang pemilihan umum di legislatif, sehingga jalannya pemerintahan yang dibentuk akan stabil.
Penutup
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa presidential treshold yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum menuai pro dan kontra. Pihak yang setuju menganggap bahwa aturan ambang batas pencalonan dilakukan untuk mengukur kekuatan presiden pada saat di parlemen. Mereka juga berpendapat bahwa adanya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden akan menguatkan sistem presidensial yang kuat. Namun, bagi yang tidak setuju dengan adanya ambang batas pencalona presiden dan wakil presiden berpendapat bahwa hal tersebut menghilangkan kesempatan bagi para kandidat untuk dapat berkompetisi akibat partai pengusung yang memiliki suara dibawah ambang batas.
Kebijakan mengenai presidential treshold ditinjau dari teori tujuan hukum dengan melakukan pendekatan pada unsur-unsur tujuan hukum tentunya digunakan dalam menganalisis kebijakan presidential treshold. Pada dasarnya, presidential treshold tidak memenuhi unsur-unsur yang ada dalam teori tujuan hukum. Pada unsur keadilan, kami menemukan bahwa kebijakan presidential treshold yang dalam hal ini adalah ambang batas pencalonan merupakan kebijakan yang memihak pada satu golongan dan diskriminatif pada golongan lainnya. Hal ini dikarenakan adanya batasan yang membuat partai yang minim suara untuk mengusung calon mereka. Pada unsur kepastian hukum, presidential treshold dinyatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan konstitusi, yaitu pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan mengatur ambang batas pencalonan yang tidak disyaratkan oleh konstitusi dan juga membatasi partisipasi partai politik kecil dalam keikutsertaanya dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu, serta membatasi hak untuk dipilih dan hak untuk memilih milik rakyat. Pada unsur kemanfaatan, dapat ditemukan bahwa kebijakan presidential treshold ternyata memperburuk kualitas demokrasi karena sedikitnya kontestan yang ada. Selain itu, presidential treshold nyatanya tidak efektif dan cenderung lebih melemahkan dalam penguatan presidensil karena sifat dari koalisi sesaat yang cenderung dapat berubah-ubah arah politiknya.
Berdasarkan hasil kesimpulan, diperlukan penghapusan ketentuan presidential treshold pada Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal ini dilakukan karena ketentuan dari kebijakan tersebut yang inkonstitusional. Pelaksanaan pemilu tanpa adanya presidential treshold juga sesuai dengan prinsip negara demokrasi. Tentunya penghapusan tersebut akan membawa keunggulan yang ebih banyak dibandingkan dengan kelebihan diterapkannya presidential treshold.
[1] Rahman Yasin, “Hak Konstitusional Warga Negara Dalam Beragama,” Jurnal Bawaslu Provinsi Kepulauan Riau 4, no. 2 (2022): 186–199.
[2] Arif Wicaksana, “Problematika Konstitusionalitas Presidential Threshold Di Indonesia,” Jurnal Hukum Positum 7, no. 1 (2016): 1–24.
[3] Mohammad Muslih, “Negara Hukum Indonesia Dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch,” Legalitas 4, no. 1 (2013): 130–152.
[4] Muhammad Mukhtarrija, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, and Agus Riwanto, “Inefektifitas Pengaturan Presidential Threshold Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 24, no. 4 (2018): 644–662.
[5] Restiyani and Isharyanto, “Anomali Presidential Threshold Dalam Sistem Presidensiil Di Indonesia,” Res Publica 4, no. 3 (2020): 303–316.
[6] Mukhtarrija, Handayani, and Riwanto, “Inefektifitas Pengaturan Presidential Threshold Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.”
[7] Restiyani and Isharyanto, “Anomali Presidential Threshold Dalam Sistem Presidensiil Di Indonesia.”