Hukum Bukan Hanya Tentang Pidana
Hukum Bukan Hanya Tentang Pidana
M. Aditya Putra Pratama
Rabu, 19 Juni 2024
Penggambaran “hukum” di masyarakat dewasa ini lebih cenderung ke arah positivis, hal itu didasari pada keyakinan atau paling tidak pengetahuan masyarakat yang beranggapan bahwa sanksi adalah esensi utama dari hukum, bahkan dalam level yang lebih kronis lagi menganggap bahwa sanksi adalah hukum itu sendiri. Sebelum jauh membahas hal tersebut, mari kita nikmati dialog imajiner dibawah :
“Seorang guru SMA menjelaskan tentang peraturan-peraturan dalam sekolah yang harus ditaati oleh murid-murid baru saat Masa Orientasi Sekolah (MOS), lalu Sugiono, salah satu murid baru, bertanya.
“Pak, bagaimana jika kami melanggar?.” Sugiono bertanya dengan wajah polos.
“Tentu saja. Kalian harus dihukum. Siapapun yang melanggar.” Jawab guru tersebut.”
Dari dialog tersebut, bisa kita ambil kesimpulan bahwasanya kata “dihukum” yang dikatakan oleh guru tersebut memiliki arti “disanksi”. Hal demikian tidak jarang ditemui di masyarakat, mereka beranggapan bahwa peraturan itu adalah hukumnya, sedangkan sanksi adalah hukumannya, biasanya identik dengan hukuman fisik. Penggambaran sanksi sebagai ancaman bagi pelanggar hukum sama halnya dengan mengidentikkan hukum “hanya” sebagai pidana, hal tersebut diakui oleh J.L.A Hart dalam bukunya The Concept of Law Bab II seperti dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki melalui karyanya, Pengantar Ilmu Hukum. Padahal hukum bukan hanya tentang pidana.
Anggapan demikian tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kaum positivis yang menganggap bahwasanya sanksi adalah esensi penting dari hukum sendiri, bahkan kaum positivis menganggap bahwasanya hukum tanpa sanksi seperti halnya api yang tidak membakar, dan lampu yang tidak terang, oleh karena itu sanksi harus menjadi komponen penting dalam hukum.
Sehingga sampailah kita pada pertanyaan pentingnya, apakah sanksi adalah komponen penting dalam hukum? Lalu apakah hukum itu hanya tentang pidana?
L.J Van Apeldorn tidak setuju dengan kelompok yang menyatakan bahwasanya sanksi adalah elemen penting dari hukum, karena menurutnya, jika sanksi adalah salah satu elemen dari hukum maka ia hanya masuk dalam elemen tambahan. Karena bagi Van Apeldorn, ajaran yang menyatakan bahwa ciri hukum terletak pada sanksi adalah sesuatu yang kontradiktif terhadap dirinya sendiri. Selanjutnya ia menyatakan bahwa hukum suatu negara dalam banyak hal merupakan penuangan dari asas-asas, dan norma-norma agama, moral, dan sosial yang didukung kesadaran masyarkat. Lalu dengan sinis Van Apeldorn mengatakan, bahwasanya suatu pandangan yang hanya melihat bahwa tertib hukum merupakan suatu organisasi paksaan sama saja dengan menyamakan hukum seperti aturan-aturang yang dibuat oleh gangster.
Dari pandangan kaum positivis bisa kita simpulkan bahwasanya sanksi itu elemen penting bagi hukum, agar hukum bisa berfungsi optimal yakni menciptakan ketertiban dan keteraturan. Sedangkan pandangan Van Apeldorn menolak anggapan tersebut dengan mengatakan bahwasanya tujuan hukum bukanlah untuk menciptakan kehidupan manusia yang tertib teratur tapi damai dan sejahtera.
Indonesia sendiri pernah mengalami rezim yang sangat tertib dan teratur (bahkan seragam pendidikan dibuat sama, teratur) saat itu hukum benar-benar ditegakkan, saking seriusnya penegak hukum saat itu, militer pun harus diturunkan di jalan-jalan untuk mengawasi terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Kondisi sosial pada saat itu bisa dikatakan kondusif, tapi kekondusifan yang ada saat itu didasari pada ketakutan dan kengerian pada Aparat Penegak Hukum (APH). Lalu, apakah kondisi tersebut yang ingin diwujudkan oleh hukum? Tentu tidak. Oleh karena itu, bisa kita ambil kesimpulan bahwa tujuan ideal hukum bukanlah tertib teratur, melainkan damai sejahtera.
Dari hal tersebut pula terlihat bahwasanya wajah hukum kita cenderung positivis, indikasinya bisa terlihat dari definisi hukum saat itu, yakni hukum hanyalah peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara, dalam hal ini DPR, lalu indikasi lainnya adalah tujuan yang dicita-citakan demi tegaknya hukum, yakni ketertiban dan keteraturan masyarakat.
Poin ini pula yang akan dijadikan titik tolak, mengapa kebanyakan masyarakat awam di Indonesia memandang hukum “hanya” tentang pidana. Sulaksono pakar hukum Universitas Negeri Surabaya mengatakan, bahwa adanya stigma di masyarakat jika hukum hanya tentang pidana adalah hasil penggiringan penjajah belanda sejak sebelum merdeka, terutama ketika WvSNI baru dibawa dan diterapkan di Hindia-Belanda, nama Indonesia saat itu. Penggiringan opini tersebut menurutnya bertujuan untuk menakuti dan mendatangkan kepatuhan dari warga pribumi kepada penguasa Hindia-Belanda. Sehingga wajah hukum di Hindia-Belanda sejak saat itu lebih menonjolkan wajah pidana, dalam penegakannya, dibanding yang lain sampai saat ini.
Butuh waktu yang lama untuk menumbuhkan pengetahuan di masyarakat secara pasif, bahwa sanksi bukanlah elemen penting dalam hukum, dan perlu waktu yang lama pula untuk mengedukasi masyarakat bahwasanya hukum itu bukan hanya tentang pidana. Sedikit demi sedikit para ahli hukum dan pemerintah mencoba menyingkap tirai-tirai yang menjadi kabut di masyarakat tersebut, misalnya dengan membuat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dan mencabut KUHP Lama (WvS), hal ini bertujuan untuk menghilangkan stigma di masyarakat yang beranggapan bahwa hukum hanya tentang pidana. Semoga dengan adanya edukasi masif yang dilakukan oleh para insan hukum (yuris) dan diberlakukannya KUHP Nasional bisa memberi secercah harapan untuk menyingkap kabut tebal yang sudah mendarah daging di Republik ini.
Pantau terus informasi menarik seputar hukum lewat benanghukum.com!