Dilema Hak Asasi Manusia dan Penerapan Vonis Mati di Indonesia
Dilema Hak Asasi Manusia dan Penerapan Vonis Mati di Indonesia
Jumat, 17 April 2023
Seperti yang kita tahu, hakim baru saja menjatuhkan vonis mati terhadap tersangka Ferdi Sambo. Ini bukan kali pertama pengadilan Indonesia menjatuhi vonis mati terhadap tersangka. Sebelumnya, ada Freddy Budiman yang divonis hukuman mati karena terbukti terlibat dalam berbagai kasus peredaran narkoba, ia bahkan menjadi dalang produksi sabu di dalam penjara.
Terdapat berbagai macam pendapat dari para ahli mengenai hukuman mati. Baik itu yang setuju, maupun tidak setuju. Adapun yang menjadi permasalahan dalam pandangan para ahli adalah pandangan HAM terhadap hukuman mati. Sebab pada dasarnya, hal ini merupakan penghilangan nyawa seseorang.
Sebagaimana diutarakan oleh Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional BPHN, Bungasan Hutapea S.H (2017), bahwa hukuman mati dapat saja dilakukan apabila memang benar itu merupakan kesalahan fatal dan mengancam jiwa seseorang bahkan banyak jiwa. Oleh karena kejahatan itu sudah merenggut hak asasi manusia lain, jadi hukuman mati bisa dilakukan.
Namun, dalam pandangan HAM, hal tersebut termasuk dalam pelanggaran HAM. Penghilangan nyawa seseorang sangat bertentangan dari sisi hukum perlindungan HAM.
Indonesia sebagai negara hukum telah mengambil satu sikap terkait berharganya hak asasi atau hak hidup. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) UU HAM yang menyebutkan bahwa, “setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Hal ini lah yang kerap kali menjadikan terjadinya pro dan kontra yang melibatkan masyarakat terkait hal ini. Baik itu praktisi akademisi, maupun dalam kalangan masyarakat yang mempermasalahkan vonis mati di Indonesia.
Ada beberapa hal yang kiranya dipertimbangkan dalam penerapan hukuman mati di Indonesia. Sebagaimana Gustav Radbruch menyebutkan bahwa tujuan dari hukum itu dibuat berasas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Maka, yang menjadi problematika yang berulang kembali adalah tepatkah putusan vonis mati dijatuhkan di Indonesia melihat ketentuan undang-undang, di mana Hak Asasi Manusia wajib dijunjung tinggi.
Dengan demikian, penerapan vonis mati tersebut keliru jika acuan kita adalah merepresentasikan tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu kemanfaatan.
Vonis mati terhadap pelaku tindak pidana dapat menjadi preseden buruk dalam penerapan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara hukum seharusnya dapat memberikan sesuatu yang berlandaskan tujuan dari hukum itu sendiri dibuat. Sebab, tidak ada keadilan dalam pembunuhan atas nama keadilan, “There is no justice killing in the name of justice archbishop desmond tutu”.
Di negara Belanda sendiri, hukuman mati sudah dihapus atau tidak digunakan sejak tahun 1870 karena pada pelaksanaannya, terpidana selalu mendapat pengampunan dan grasi dari raja, serta dalam rangka guna menghargai HAM itu sendiri. Sebagai gantinya, disahkan RUU hukuman penjara seumur hidup pada tahun 1878.
Meskipun terdapat banyak pro dan kontra dari pemberlakuan vonis hukuman mati di Indinesia ini, sebagai negara hukum sudah seharusnya Indonesia mengambil sikap akan setiap aturan yang ada.
Undang-Undang tentang HAM menjunjung tinggi hak hidup manusia. Akan tetapi, terkait aturan mengenai Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa, masih melekat aturan pemberlakuan Hukuman Mati dan alasannya. Hal ini berguna untuk menghindari multitafsir dan tumpang tindih dalam setiap penjatuhan pidana di Indonesia.