Bagaimana Legalitas Penjualan Pembalut Reject?
Bagaimana Legalitas Penjualan Pembalut Reject?
Danish Ara Parnyata
Jumat, 24 November 2023
Belakangan ini, pembicaraan mengenai pembalut yang dijual secara curah dengan harga yang sangat murah sedang ramai dibahas di sejumlah platform e-commerce Indonesia. Pembalut tersebut disebut sebagai "pembalut reject" yang konon masih dapat digunakan. Perbincangan seputar pembalut reject ini telah mencuat di berbagai media sosial dan memicu perdebatan, terutama terkait keamanannya bagi perempuan yang menggunakannya selama menstruasi. Meskipun belum jelas secara pasti apa yang dimaksud dengan pembalut reject, tangkapan layar yang beredar menunjukkan adanya kerusakan dan kecacatan pada produk tersebut.
Dalam konteks hukum, legalitas pembalut reject ini menjadi bahan pertanyaan. Penting untuk dicatat bahwa berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009, pembalut wanita termasuk dalam kategori alat kesehatan dengan risiko rendah yang wajib memperoleh izin edar sebelum dapat beredar di Indonesia. Proses pemberian izin edar dari Kementerian Kesehatan mengharuskan setiap pembalut wanita memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-6363-2000 tentang pembalut wanita.
Terkait legalitas pengedaran pembalut dibahas lebih detail dalam Pasal 106 Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009. Dimana ditegaskan bahwa alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Penandaan dan informasi alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas. Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar.
Selain itu, pembalut harus memenuhi standar kelayakan serta memiliki izin edar yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Jika tidak, penjual tentunya terancam sanksi pidana penjara dan denda yang tidak sedikit. Hal itu diatur dalam Pasal 197 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Ditegaskan dalam pasal tersebut bahwa; “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa "pembalut reject" ilegal, karena berdasarkan Pasal 106 Undang-Undang 36 Tahun 2009 bahwa pembalut harus mendapat izin edar dari BPOM yang memenuhi seluruh standar kelengkapan dan objektivitas. Konsekuensi bagi pelanggaran terhadap aturan ini termasuk penarikan produk dari peredaran, serta sanksi pidana berupa penjara selama lima belas tahun dan denda maksimal sebanyak satu miliar lima ratus juta rupiah, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
Semoga informasinya bermanfaat untuk Sobat Hukum!
Pantau terus informasi menarik seputar hukum lewat benanghukum.com!