Angkatan Siber TNI: Pelindung Digital atau Ancaman Demokrasi?
Angkatan Siber TNI: Pelindung Digital atau Ancaman Demokrasi?
Iqbal Restu Prayoga
Mahasiswa dan Peneliti Pusat Kajian Konstitusi, Perundang-undangan, dan Demokrasi FH UNESA
Kamis, 31 Juli 2025
Transformasi digital telah jauh berkembang hingga mengubah wajah pertahanan nasional. Jika dahulu ancaman terhadap kedaulatan negara hanya datang dari darat, laut, dan udara, namun sekarang dunia maya menjadi medan tempur baru yang sama gentingnya. Indonesia sebagai negara dengan pengguna internet terbesar keempat di dunia menghadapi risiko serangan siber yang tidak hanya menyasar infrastruktur digital negara, tetapi juga ruang-ruang sipil mulai dari lembaga pemilu, media massa, hingga akun media sosial individu. Menanggapi ancaman ini, pada 22 Juli 2025 kemarin muncul rencana dari Kementerian Pertahanan untuk bekerja sama dengan Tentara Singapura dalam urusan keamanan siber, mengingat tentara Singapura lebih dulu memiliki Matra Siber yakni sejak tahun 2022(Nugroho, 2025).
Namun dibalik narasi “perlindungan digital” wacana ini justru menimbulkan kontroversi yang serius di ruang publik. Dari perspektif hukum dan konstitusi, saat ini TNI hanya memiliki tiga angkatan seperti yang telah diatur dalam pasal 10 UUD 1945 dan UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Oleh karena itu, pembentukan angkatan baru seperti angkatan siber memerlukan dukungan melalui perubahan regulasi yang sah. Disisi lain hal ini berisiko menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Polri yang juga memiliki unit siber dalam strukturnya(Nushratu, 2024).
Selanjutnya yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana kekuatan militer di ranah siber dapat menimbulkan bias represif terhadap ruang sipil. Tanpa pengawasan sipil yang kuat Angkatan Siber TNI dapat digunakan tidak hanya untuk melindungi kedaulatan negara dari ancaman luar, tetapi juga sebagai alat kontrol atas warga negaranya sendiri. Ini berpotensi mengganggu prinsip supremasi sipil yang menjadi jantung demokrasi konstitusional(Murtadho, 2025).
Sebagai bagian dari masyarakat hukum, saya memandang bahwa pembentukan Angkatan Siber TNI adalah langkah yang strategis namun prematur secara hukum. Bisa dikatakan Strategis karena kita tidak bisa lagi mengandalkan matra konvensional untuk menghadapi ancaman digital lintas batas. Namun prematur, karena langkah tersebut tidak didorong dengan kerangka hukum yang memadai, tanpa keterlibatan publik dan tanpa pengawasan legislatif yang ketat.
Pertama, secara aturan, tidak ada dasar hukum yang mengatur secara jelas dan memperbolehkan pembentukan matra militer baru tanpa perubahan Undang - Undang. Pasal 11 dan 12 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa TNI hanya terdiri dari AD, AL dan AU. Maka pembentukan Angkatan Siber jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku jika tidak dibarengi dengan revisi UU TNI. Mengabaikan hal ini dapat mengarah pada praktik kekuasaan militer di luar kendali sipil, yang berbahaya dalam sistem demokrasi.
Kedua, pembentukan Angkatan Siber juga berpotensi mengacaukan struktur kelembagaan pertahanan dan keamanan digital nasional. Saat ini, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memiliki mandat sebagai pengelola keamanan siber nasional berdasarkan Perpres No. 133/2017. Sementara Polri melalui Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) menangani kejahatan siber. Jika Angkatan Siber juga mengambil peran di sektor yang sama tanpa batas dan tugas pokok yang jelas, maka akan menimbulkan tumpang tindih, menjadi tidak efisien dan bahkan konflik antar lembaga. Dalam hal ini, kontrol sipil menjadi lemah karena tidak ada pemisahan fungsi antara keamanan sipil dan pertahanan nasional.
Ketiga, dari sisi demokrasi, saya menyuarakan kekhawatiran mendalam terhadap potensi penyalahgunaan kekuatan siber oleh militer. Yang kita ketahui bahwa ruang digital menjadi sarana menyampaikan kritik terhadap kekuasaan. Jika kekuatan militer memiliki alat dan legitimasi untuk masuk ke ruang ini, maka akan terbuka peluang penyalah gunaan kekuasaan seperti peretasan, pemantauan dan pembungkaman kritik.
Angkatan Siber TNI, jika dilihat dari sisi ancaman global, memang sesuatu keniscayaan strategis. Tetapi dalam sistem hukum dan demokrasi Indonesia, langkah tersebut harus tunduk pada supremasi hukum dan supremasi sipil. Pemerintah harus segera menyusun kerangka hukum yang kuat dan terbuka untuk publik, melakukan revisi UU TNI, memperjelas batas kewenangan antara TNI, BSSN, dan Polri, serta memastikan adanya pengawasan legislatif dan sipil atas seluruh aktivitas Angkatan Siber. Tanpa itu semua, Angkatan Siber bisa menjelma bukan sebagai pelindung digital, tetapi sebagai ancaman terhadap kebebasan digital dan demokrasi itu sendiri.
Daftar Rujukan
Murtadho, N. A. (2025). Militer di Ruang Siber, Langkah Strategis atau Ancaman bagi Kebebasan Digital? BANDUNG BERGERAK Bercerita Dari Pinggir. https://bandungbergerak.id/article/detail/1598996/militer-di-ruang-siber-langkah strategis-atau-ancaman-bagi-kebebasan-digital
Nugroho, N. P. (2025). Indonesia Akan Belajar Keamanan Siber ke Tentara Singapura. TEMPO. https://www.tempo.co/politik/indonesia-akan-belajar-keamanan-siber-ke tentara-singapura-2049567#goog_rewarded
Nushratu, H. (2024). Soal Wacana Angkatan Siber TNI, Komisi I DPR: Ubah Dulu Aturannya. DetikNews. https://news.detik.com/berita/d-7526549/soal-wacana angkatan-siber-tni-komisi-i-dpr-ubah-dulu-aturannya
Pantau terus informasi menarik seputar hukum lewat benanghukum.com!